Monday, January 11, 2016

NENEK PEMBELI PERMEN JAHE



NENEK PEMBELI PERMEN JAHE
Karya : Nurma Putrihandita
Di tengah suasana berlibur, aku bersama keluargaku berangkat dari serang menuju Jakarta dengan menaiki bus. Dengan keadaan bus yang terlihat penuh, beruntung kami mendapat tempat duduk dan tidak berdiri seperti orang yang lainnya. Pada musim liburan, yang namanya berdesak-desakan di dalam bus sudah menjadi hal biasa. Hal ini tentunya diperlukan pengorbanan dan kesabaran dari para penumpang.
Sebelum memasuki jalur tol Jakarta, tepatnya di area peristirahatan, terlihat seorang pedagang permen jahe naik ke dalam bus. Berbeda dengan biasanya, cara pedagang permen tersebut berjualan dengan cara membagikan permen yang dijual satu persatu kepada seluruh penumpang untuk dilihat terlebih dahulu, setelah itu barulah pedagang kembali menagih uang atas permen tersebut. Dan bagi yang tidak membeli, terpaksa ia mengambil permennya kembali. Tak luput kepada seorang nenek yang duduk tepat disampingku. Nenek itu pun bertanya kepadaku, “berapa harganya ini?” “Dua ribu nek.” Jawabku. “Oh iya, ini ada tulisannya ternyata.” Nenek itu terkekeh melihat tulisan di bungkus permen tersebut yang bertuliskan “Rp 2.000”.
Nenek itu kemudian mengeluarkan uang senilai empat ribu rupiah. “Nenek mau beli dua, kasihan pedagang itu, seperti cucu nenek yang sudah meninggal. Kalau cucu nenek masih hidup, ia pasti sudah sebesar anak gadis itu.” Ucapnya kepadaku. Nenek tersebut masih menggenggam uangnya seraya menunggu pedagang itu kembali. Tentu tidaklah mudah berjualan di dalam bus yang dalam keadaan sesak.
Tak lama kemudian, bus yang kami tumpangi mulai berangkat dan memasuki area jalan tol. Pedagang itu pun mulai mendekat untuk menagih uang atas pembelian permen jahe tersebut. Tampak nenek yang duduk disampingku tertunduk tidur. Lehernya yang seakan membungkuk sehingga kepalanya terlihat merapat ke dada. Dalam hati ku berdoa semoga ia bangun ketika pedagang itu datang. Padagang itu pasti senang sebab nenek itu hendak membeli sebungkus lagi. Namun ketika pedagang itu mendekat, nenek tersebut tak kunjung bangun juga. Pedagang itu pun bertanya kepadaku, “Bukankah tadi nenek ini juga menerima permen?” Aku pun mengangguk “sudah ia masukan ke dalam tasnya mbak, ia juga mau beli satu lagi. Itu uangnya ada empat ribu di tangannya.” Penjual itu tersenyum lebar dan mengangguk kepadaku “biarlah kalau begitu, kasihan ia sedang tidur. Jangan dibangunkan!” Kemudian ia menagih kepada para penumpang yang lainnya. Lepas itu, ia turun setelah bus melambat di pintu gerbang tol arah masuk Jakarta.
 Ketika bus masuk ke jalur bogor, nenek itu terbangun. Ia sadar dengan dua lembar uang dua ribuannya di genggamannya. Ia juga sadar dengan niatnya untuk membeli dua bungkus permen jahe. “Pedagang itu mana, kok belum menagih uangnya?” ia merasa kebingungan. Aku merasa kasihan kepada nenek tersebut. Dengan perlahan ku katakan “pedagang itu sudah turun tadi di pintu tol nek.” Nenek itu hanya mampu berucap “Ohhh, kasihan.”
Aku bingung dan tak bisa berbicara sedikit pun. Kuhindari perubahan mimik wajahnya yang menjadi penuh rasa bersalah. Aku sendiri tiba-tiba merasa bersalah kepadanya sebab tidak membangunkannya ketika pedagang itu menagih. Tentu tidaklah nyaman membangunkan orang tua yang sedang tidur lelap.
Ketika nenek itu membuang tatapannya ke arah luar menatap jalanan, tiba-tiba hujan turun. Pada awalnya hujan tersebut bertabur terlihat seperti bintik-bintik gula yang terdapat pada permen jahe. Namun lama kelamaan bintik-bintik tersebut terlihat bergabung menjadi satu dengan yang lainnya, lalu mengalir pada kaca bus yang tampak bagaikan air mata.
Tamat

No comments: