NENEK PEMBELI
PERMEN JAHE
Karya : Nurma
Putrihandita
Di tengah suasana
berlibur, aku bersama keluargaku berangkat dari serang menuju Jakarta dengan
menaiki bus. Dengan keadaan bus yang terlihat penuh, beruntung kami mendapat
tempat duduk dan tidak berdiri seperti orang yang lainnya. Pada musim liburan,
yang namanya berdesak-desakan di dalam bus sudah menjadi hal biasa. Hal ini
tentunya diperlukan pengorbanan dan kesabaran dari para penumpang.
Sebelum memasuki jalur
tol Jakarta, tepatnya di area peristirahatan, terlihat seorang pedagang permen
jahe naik ke dalam bus. Berbeda dengan biasanya, cara pedagang permen tersebut
berjualan dengan cara membagikan permen yang dijual satu persatu kepada seluruh
penumpang untuk dilihat terlebih dahulu, setelah itu barulah pedagang kembali
menagih uang atas permen tersebut. Dan bagi yang tidak membeli, terpaksa ia
mengambil permennya kembali. Tak luput kepada seorang nenek yang duduk tepat
disampingku. Nenek itu pun bertanya kepadaku, “berapa harganya ini?” “Dua ribu
nek.” Jawabku. “Oh iya, ini ada tulisannya ternyata.” Nenek itu terkekeh
melihat tulisan di bungkus permen tersebut yang bertuliskan “Rp 2.000”.
Nenek itu kemudian
mengeluarkan uang senilai empat ribu rupiah. “Nenek mau beli dua, kasihan
pedagang itu, seperti cucu nenek yang sudah meninggal. Kalau cucu nenek masih
hidup, ia pasti sudah sebesar anak gadis itu.” Ucapnya kepadaku. Nenek tersebut
masih menggenggam uangnya seraya menunggu pedagang itu kembali. Tentu tidaklah
mudah berjualan di dalam bus yang dalam keadaan sesak.
Tak lama kemudian, bus
yang kami tumpangi mulai berangkat dan memasuki area jalan tol. Pedagang itu
pun mulai mendekat untuk menagih uang atas pembelian permen jahe tersebut.
Tampak nenek yang duduk disampingku tertunduk tidur. Lehernya yang seakan
membungkuk sehingga kepalanya terlihat merapat ke dada. Dalam hati ku berdoa
semoga ia bangun ketika pedagang itu datang. Padagang itu pasti senang sebab
nenek itu hendak membeli sebungkus lagi. Namun ketika pedagang itu mendekat,
nenek tersebut tak kunjung bangun juga. Pedagang itu pun bertanya kepadaku,
“Bukankah tadi nenek ini juga menerima permen?” Aku pun mengangguk “sudah ia
masukan ke dalam tasnya mbak, ia juga mau beli satu lagi. Itu uangnya ada empat
ribu di tangannya.” Penjual itu tersenyum lebar dan mengangguk kepadaku
“biarlah kalau begitu, kasihan ia sedang tidur. Jangan dibangunkan!” Kemudian
ia menagih kepada para penumpang yang lainnya. Lepas itu, ia turun setelah bus
melambat di pintu gerbang tol arah masuk Jakarta.
Ketika bus masuk ke jalur bogor, nenek itu
terbangun. Ia sadar dengan dua lembar uang dua ribuannya di genggamannya. Ia
juga sadar dengan niatnya untuk membeli dua bungkus permen jahe. “Pedagang itu
mana, kok belum menagih uangnya?” ia merasa kebingungan. Aku merasa kasihan
kepada nenek tersebut. Dengan perlahan ku katakan “pedagang itu sudah turun
tadi di pintu tol nek.” Nenek itu hanya mampu berucap “Ohhh, kasihan.”
Aku bingung dan tak
bisa berbicara sedikit pun. Kuhindari perubahan mimik wajahnya yang menjadi
penuh rasa bersalah. Aku sendiri tiba-tiba merasa bersalah kepadanya sebab
tidak membangunkannya ketika pedagang itu menagih. Tentu tidaklah nyaman membangunkan
orang tua yang sedang tidur lelap.
Ketika nenek itu
membuang tatapannya ke arah luar menatap jalanan, tiba-tiba hujan turun. Pada
awalnya hujan tersebut bertabur terlihat seperti bintik-bintik gula yang
terdapat pada permen jahe. Namun lama kelamaan bintik-bintik tersebut terlihat
bergabung menjadi satu dengan yang lainnya, lalu mengalir pada kaca bus yang
tampak bagaikan air mata.
Tamat
No comments:
Post a Comment